COGNITIVISM & CONSTRUCTIVISM


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri, bertanggung jawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta mampu berkolaborasi dan memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang mampu melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkannya. Pengetahuan tidak bisa di transfer begitu saja,melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing masing individu. Pengetahuan juga bukan merupakan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya. Banyak peserta didik yang yang salah menangkap apa yang diberikan oleh gurunya. Hal itu menunjukan bahwa pengetahuan tidak begitu saja dipndahkan, melainkan harus di kontribusikkan sendiri oleh peserta didik tersebut. Peran guru dalam pembelajaran bukan pemindahan pengetahuan, tetapi hanya sebagai fasilitator, yang menyediakan stimulus berupa strategi pembelajran, bimbingan dan bantuan ketika peserta megalami kesulitan belajar, atupun menyediakan media dan materi dalam pembelajaran mejadi bermakna dan akhirnya peserta didik tersebut mampu mengkontribusi sendiri pengetahuannya. Seorang guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tiak ditemukan, maka seorang pendidik tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa melainkan sebagai proses megubah konsep-konsep siswa.
Sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya, peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena dihubungkan dengan konsep awal yang dimiliki siswa pengalaman yang siswa peroleh dari lingkungan kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian kognitivisme ?
b. Bagaimana Implikasi Teori Kognitivisme dalam Pembelajaran ?
c. Apa yang dimaskud dengan konstruktivisme dan tujuannya?
d. Apa ciri-ciri teori belajar konstruktivisme ?
    C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian dari kognitivisme
b. Untuk mengetahui implikasi teori kognitivisme dalam pembelajaran
c. Untuk mengetahui pengertian dan tujuan teori belajar konstruktivisme.
d. Untuk mengetahui ciri-ciri teori belajar konstruktivisme.





























BAB II
PEMBAHASAN

A.      Cognitivisme
1.      Pengertian Kognitivisme
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian,mengerti.   Pengertian   yang   luasnya  cognition (kognisi)   adalah   perolehan, penataan,   dan   penggunaan   pengetahuan.   Isme   berarti   sebuah   aliran,   paham (Sagala, 2010)..
Dalam   pekembangan   selanjutnya,   kemudian   istilah   kognitivisme   ini menjadi   populer sebagai   salah   satu   wilayah   psikologi   manusia/satu   konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental   yang   berhubungan   dengan   masalah   pemahaman,   memperhatikan, memberikan,   menyangka,   pertimbangan,   pengolahan   informasi,   pemecahan masalah,   pertimbangan,   membayangkan,   memperkirakan,   berpikir   dan keyakinan.   Termasuk  kejiwaan  yang   berpusat   di otak  ini   juga  berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa.
Menurut   para   ahli   jiwa   aliran   kognitivisme,   tingkah   laku   seseorang   itu
senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi (Sagala, 2010)
2.      Karakteristik Teori Kognitivisme
Teori   belajar   kognitivisme   lebih   mementingkan   proses   belajar   daripada hasil   belajar   itu   sendiri.   Belajar   tidak   sekedar   melibatkan   hubungan   antara stimulus   dan   respon,   lebih   dari   itu   belajar   melibatkan   proses   berpikir   yang sangat   kompleks.   Belajar   adalah   perubahan   persepsi   dan   pemahaman.
3.      Tokoh-tokoh Teori Belajar Kognitivisme
a.        Jean Piaget
Dalam   teorinya   yang   disebut  “Cognitive   Developmental” ,   Piaget memandang   bahwa   proses   berpikir   sebagai   aktivitas   gradual   dan   fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak (Muflihin, 2009).
Piaget   adalah   ahli   psikolog   developmental   karena   penelitiannya mengenai  tahap  tahap   perkembangan  pribadi  serta   perubahan  umur   yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas   mental   memberikan   kemampuan-kemampuan   mental   yang sebelumnya   tidak   ada.   Pertumbuhan   intelektual   tidak   bersifat   kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Jean   Piaget   mengklasifikasikan   perkembangan kognitivisme anak menjadi empat tahap:
1)      Tahap sensory – motor
yakni perkembangan ranah kognitivisme yang terjadi   pada   usia   0-2   tahun,   Tahap   ini   diidentikkan   dengan   kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
2)      Tahap pre – operational
yakni perkembangan ranah kognitivisme yang terjadi   pada   usia   2-7   tahun.   Tahap   ini   diidentikkan   dengan   mulai digunakannya   simbol   atau   bahasa   tanda,   dan   telah   dapat   memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
3)      Tahap concrete – operational
yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas   dan   logis.   Anak   sudah   tidak   memusatkan   diri   pada   karakteristik perseptual pasif.
4)      formal – operational
yakni perkembangan ranah kognitivisme yang  terjadi pada usia 11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang  terahir ini adalah   anak   sudah   mampu   berpikir   abstrak   dan   logis   dengan menggunakan pola pikir “kemungkinan”.
Dalam   pandangan   Piaget,   proses   adaptasi   seseorang   dengan lingkungannya terjadi secara simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan   akomodasi.   Asimilasi   terjadi   jika   pengetahuan   baru   yang   diterima seseorang cocok dengan struktur kognitivisme yang telah dimiliki seseorang tersebut.   Sebaliknya,   akomodasi   terjadi   jika   struktur   kognitivisme   yang telah   dimiliki   seseorang   harus   direkonstruksi/di   kode   ulang   disesuaikan dengan informasi yang baru diterima  (Muflihin, 2009)

b.      Jerome Bruner
Bruner teorinya adalah  “Discovery Learning” , yaitu dalam teorinya menekankan  bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep,   teori,   aturan,   atau   pemahaman   melalui   contoh-contoh   yang   ia jumpai   dalam   kehidupan.   Bruner   meyakini   bahwa   pembelajaran   tersebut bisa   muncul   dalam   tiga   cara   atau   bentuk,   yaitu:  enactive,   iconic   dan symbolic (Sanjaya, 2006)
Jika dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discovery Learning-nya Bruner dapar dikemukakan sebagai berikut:
1)        Belajar   merupakan   kecenderungan   dalam   diri   manusia,   yaitu  Self- curiousity  (keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
2)   Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur yang ada. Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan pengenalan.
3)   Kualitas   belajar   penemuan   diwarnai   modus   imperatif   kesiapan   dan kemampuan secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
4)   Penerapan   belajar   penemuan   hanya   merupakan   garis   besar   tujuan instruksional sebagai arah informatif.
5)   Kreatifitas   metaforik   dan   creative   conditioning    yang   bebas   dan bertanggung jawab memungkinkan kemajuan.
c.  David Ausubel
Teori  “Belajar   Bermakna”  Psikologi   pendidikan   yang   diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna, berikut ini konsep belajar bermakna David Ausubel.  Pengertian belajar bermakna menurut Ausubel ada dua jenis belajar :
1)  Belajar bermakna ( meaningful learning )
2)  Belajar menghafal ( rote learning )
Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan   dengan   struktur   pengertian   yang   sudah   dipunyai   seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Belajar bermakna menurut Ausubel adalah  suatu proses  belajar di  mana  peserta  didik  dapat  menghubungkan informasi   baru   dengan   pengetahuan   yang   sudah   dimilikinya   dan   agar pembelajaran   bermakna,   diperlukan   2   hal   yakni   pilihan   materi   yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi. Dengan   demikian   kunci   keberhasilan   belajar   terletak   pada kebermaknaan  bahan   ajar  yang  diterima   atau   yang   dipelajari  oleh   siswa.

4.      Implikasi Teori Kognitivisme dalam Pembelajaran
Aplikasi teori belajar kognitivisme  dalam  pembelajaran,  guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya,  anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan  benda-benda  konkret,  keaktifan   siswa  sangat  dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana   kekompleks,   guru   menciptakan   pembelajaran   yang   bermakna, memperhatian   perbedaan   individual   siswa   untuk   mencapai   keberhasilan siswa.
Dari penjelasan diatas jelas bahwa implikasinya dalam pembelajaran adalah seorang pendidik, guru ataupun apa namanya  mereka  harus  dapat memahami   bagaimana   cara   belajar   siswa   yang   baik,   sebab   mereka   para siswa   tidak   akan   dapat   memahami   bahasa   bila   mereka   tidak   mampu mencerna dari apa yang mereka dengar ataupun mereka tangkap.
Dari   ketiga   macam   teori   diatas   jelas   masing-masing   mempunyai implikasi   yang   berbeda,   namun   secara   umum   teori   kognitivisme   lebih mengarah pada bagaimana memahami struktur kognitivisme siswa, dan ini tidaklah   mudah,   Dengan   memahami   struktur   kognitivisme   siswa,   maka dengan   tepat   pelajaran   bahasa   disesuaikan   sejauh   mana   kemampuan siswanya.

B.       Constructivism
1.      Pengertian  Konstruktivisme
Konstruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir kontekstual. Teori belajar Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema yang baru. Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui  dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki. Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna.
Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan atau diingat dalam setiap individu. Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
1)       Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung  jawab siswa itu sendiri.
2)       Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
3)       Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
4)       Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5)       Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132). Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988:133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Jadi, secara umumpengertian dari teori belajar konstrutivisme merupakan suatu metode pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan. Teori ini memberikan keaktifan terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri. Ibarat botol air, siswa bukanlah botol botol kecil yang siap menerima berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

2.      Ciri-ciri Teori Belajar Konstruktivisme
Adapun ciri-ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah:
a.         Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya.
b.         Menggalakkan soalan atau idea yang dimulakan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
c.         Menyokong pembelajaran secara koperatif mengambil kira sikap dan pembawaan murid.
d.        Mengambil kira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide.
e.         Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid.
f.          Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru.
g.         Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
h.         Menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.

3.    Prinsip dari teori belajar konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
a.  Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
c. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
d. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
e.  Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.  
f.  Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
g. Mencari dan menilai pendapat siswa.
h. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa juga harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan  sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.

4.    Proses belajar teori belajar konstruktivisme
Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui prosesnya asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pangetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial, yang unik yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan siswa dalam memperolah gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.

a.         Peran Siswa
Menurut pandangan kontruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Siswa harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi  peluang optimal bagian terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendala belajar sepenuhnya ada pada siswa. Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh karena itu meskipun kemamuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.

b.         Peranan Guru
Dalam belajar kostruksi guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa untuk membentuk pengetahuaanya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemampuannya.
Peranan guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendali, yang meliputi;
1)        Menumbuhkan kamandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2)        Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3)        Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk latihan.
Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya.

5.    Karakteristik perspektif teori belajar konstruktivisme
Beberapa karakteristik yang merupakan prinsip dasar prespektif kontruktivistik dalam pembelajaran adalah sebagai berikut : 
a.         Mengembangkan strategi alternatif untuk memperoleh dan menganalisis informasi.
b.         Dimungkinkannya prespektif jamak dalam proses belajar.
c.         Peran siswa utama dalam proses belajar, baik dalam mengatur atau mengendalikan proses berfikirnya sendiri maupun ketika berinteraksi dengan lingkungannya.
d.        Peran pendidik atau guru lebih sebagai tutor, fasilitator, dan mentor untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa.
e.         Pentingnya kegiatan belajar dan evaluasi belajar yang otentik.

6.  Kelebihan dan Kekurangan teori belajar konstruktivisme
a. Kelebihan teori belajar konstruktivisme
Teori konstrutivistik memiliki beberapa kelebihan antara lain:
1)  Dalam aspek berfikir yakni pada proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
2)  Dalam aspek faham yakni seorang murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
3)   Dalam aspek ingat yakni murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Melalui pendekatan ini seorang murid membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
4)  Dalam aspek kemahiran sosial yakni kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
5)   Dalam aspek seronok yakni murid terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
b. Kekurangan teori belajar konstruktivisme
Teori konstrutivistik memiliki beberapa kekurangan antara lain:
1)        Siswa menkostruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu penegtahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi;
2)        Kostruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannnya sendiri, hal ini membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda;
3)        Situasi dan kondisi sekolah tidak sama karena tidak setiap sekolah memiliki sarana dan prasarana yang membantu keaktifan dan kreatifitas siswa
4)        meskipun guru hanya menjadi pemotovasi dan memediasi  jalannya proses belajar tetapi guru disamping memiliki kompetensi dibidang itu harus memiliki perilaku yang elegan dan arif sebagai spirit bagi anak sehingga dibutuhkan pengajaran yang sesungguhnya mengapresisi nilai-nilai kemanusiaan.

C.       Perbedaan teori belajar teori belajar kognitivisme dengan teori belajar konstruktivisme
a.    Teori Belajar Kognitivisme
tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang bersinambungan dengan lingkungan.
b.      Teori Belajar konstuktivisme
 Teori belajar konstrutivisme merupakan suatu metode pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan. Teori ini memberikan keaktifan terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.







BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
Teori belajar konstrutivisme merupakan suatu metode pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan. Teori ini memberikan keaktifan terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri. Model pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaks dengan lingkungannya. Pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kessuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

B. Saran
a.                 Saat menerapkan teori belajar konstruktivisme guru harus aktif dalam mengelola kelas.
c.    Peserta didik diharapkan selalu aktif dalam menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pada diri peserta didik.
 








DAFTAR PUSTAKA


Sagala, Syaiful.2010.Konsep dan Makna Pembelajaran.Bandung: Alfabeta
Muflihin, Hizbul. 2009. Aplikasi Dan Implikasi Teori Behaviorisme Dalam Pembelajaran.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan . Bandung: San Grafika
Coachdie. 2009. Teori Belajar Yang Melandasi Proses Pembelajaran.

Post a Comment

0 Comments