Connectivism dan Self Concepts

Hasil gambar untuk Connectivism dan Self Concepts
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Pembelajaran interaktif setting kooperatif adalah cara mengajar dengan mengaktifkan siswa dalam mengemukakan pemikirannya dan guru aktif untuk membimbing siswa sehingga siswa dilibatkan dalam proses belajar. Pembelajaran interaktif yang dimaksud yaitu dengan memberikan bentuk latihan di  mana tejadi diskusi antara guru dengan siswa  sehingga  tejalin  suasana belajar yang harmonis. Setting   kooperatif   merupakan   sarana yang digunakan untuk mempermudahkan capaian pembelajaran interaktif setting kooperatif berhubungan dengan pengelolaan kelas berupa pengelompokan siswa sesuai dengan pembelajaran kooperatif, yaitu suatu pendekatan yang mencapai suatu kelompok kecil  dari  siswa  yang  bekerjasama  dalam satu tim, mempunyai kemampuan akademik yang  beragam  untuk  menyelesaikan masalah-masalah, melengkapi tugas/ menyelesaikan suatu tujuan bersama.
Siswa merupakan bagian utama dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga siswa dituntut secara aktif memproses dan mengelola perolehan belajar, untuk itu siswa dituntut untuk aktif secara fisik, intelektual dan   emosional.   Implikasi   keaktifan   bagi siswa terwujud perilaku-perilaku seperti mencari sumber informasi yang dibutuhkan menganalisa hasil dan ingin tahu implikasinya. Implikasi keaktifan bagi seorang guru sebagai pengelola dan penyelenggara dari belajar mengajar adalah memberi kesempatan belajar kepada siswa.
Thorndike (1874-1949), ia mengemukakan teorinya yang disebut sebagai teori belajar “Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon.  Teori  ini  sering  juga disebut “Trial and error” dalam rangka menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing,  dan  tingkah  laku  anak-anak  dan orang dewasa. Ia mengatakan, bahwa belajar dengan “Trial and error” itu dimulai dengan adanya beberapa motif yang mendorong keaktifan. Dengan demikian, untuk mengaktifkan  anak  dalam  belajar dibutuhkan motivasi.
Menjadikan model connectivism untuk meningkatkan pemecahan masalah keterampilan belajar siswa, menjadi model pelajaran yang menarik dan membantu tugas guru dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran. Maka diperlukan suatu model pembelajaran yang inovatif dengan setting   kooperatif. Salah satu model pembelajaran yang meliputi serangkaian pengalaman belajar yang terencana yang disusun secara sistematis, operasional, dan terarah untuk membantu siswa menguasai tujuan pembelajaran yang spesifik adalah model pembelajaran connectivism untuk meningkatkan pemecahan masalah keterampilan belajar siswa.


B.       Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah disampaikan, maka rumusan masalah yang dapat disampaikan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan model pembelajaran connectivism?
2.      Apakah yang dimaksud dengan teori chaos?
3.      Bagaimanakah hubungan teori chaos dengan model pembelajaran connectivism?
4.      Bagaimanakah penerapan model pembelajaran connectivism dalam meningkatkan keterampilan belajar siswa?

C.      Tujuan

Adapun tujuan yang dapat disampaikan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Untuk mendeskripsikan model pembelajaran connectivism.
2.         Untuk mendeskripsikan pengertian teori chaos.
3.         Untuk mendeskripsikan hubungan teori chaos dengan model pembelajaran connectivism.
4.         Untuk mengetahui penerapan model pembelajaran connectivism dalam meningkatkan keterampilan belajar siswa.
























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Model Pembelajaran Connectivism

Istilah Connectivism diperkenalkan pertama kali oleh George Siemens. Connectivism merupakan teori pembelajaran yang mengintegrasikan prinsip prinsip yang digali melalui teori teori chaos, jejaring, kompleksitas (complexity), dan self-organizing. Pembelajaran dalam pengertian Connectivism dipahami sebagai suatu proses yang terjadi dalam lingkungan-lingkungan perubahan elemen-elemen inti pembelajaran yang kabur dan  tidak  sepenuhnya  dalakendali seorang individu. Dalam Connectivism, pembelajaran yang didefinisikan sebagai: Kegiatan   dimula dar kegiatan   mengetahui sampai  dengan  kegiatan  menciptakan pengetahuan yang dapat ditindakkan (actionable knowledge).
Connectivism adalah integrasi prinsip-prinsidieksplorasi  oleh  kekacauan, jaringan, dan kompleksitas dan self-organisasi teori. Belajar adalah proses yang terjadi dalam lingkungan samar-samar dari pergeseran elemen inti - tidak sepenuhnya di bawah kendali individu. Belajar (didefinisikan sebagai pengetahuan ditindak lanjut) dapat berada di luar diri kita (dalam suatu organisasi atau database), difokuskan pada menghubungkan set informasi khusus, dan koneksi yang memungkinkan  kita  untuk  mempelajari lebih lanjut lebih penting daripada negara kita saat mengetahui.
Connectivism didorong oleh pemahaman bahwa keputusan didasarkan pada mengubah dengan cepat. Informasi baru terus diakuisisi. Kemampuan untuk menarik perbedaan antara informasi yang penting dan tidak penting sangat penting. Kemampuan untuk mengenali kapan informasi baru mengubah lanskap berdasarkan keputusan yang dibuat sebelumnya yang dirasa juga sangat penting.
Kegiatan ini dapat terjadi di luar diri manusia (dalam suatu organisasi, suatu database, dan lain sebagainya). Kegiatan ini berfokus pada penghubungan kumpulan-kumpulan informasi khusus, dan hubungan hubungan lain yang memungkinkan kita belajar  lebibanyak.  Karena  itu, kemampuan melakukan penghubungan-penghubungan ini merupakan hal yang lebih penting dari pengetahuan yang kita kuasai. Connectivism   dilandas oleh   pemahaman akan kenyataan bahwa pengambilan keputusan di era informasi akan didasarkan pada landasan-landasan yang berubah dengan cepat. Informasi-informasi baru akan diperoleh secara terus menerus secara berkelanjutan. Kemampuan membedakan informasi yang penting dan yang tidak penting dengan demikian bersifat vital. Dan juga, kemampuan untuk mengenali kapan suatu informasi baru telah mengubah landasan yang menjadi dasar keputusan keputusan yang diambil kemarin merupakan hal yang sangat kritis sifatnya (critical).

a)        Prinsip-prinsip Model Pembelajaran Connectivism

               Model pembelajaran connectivism dinilai dapat membentuk siswa agar mampu berpikir lebih kritis dalam menerima informasi-informasi yang didapatkannya di dalam belajar. Dengan demikian model pembelajaran connectivism berkembang dengan prinsip-prinsip yang berlaku sampai dengan saat ini sebagai berikut:
1.    Pembelajaran dan pengetahuan berada dalam keaneka-ragaman (diversity) pandangan/pendapat/opini.
2.    Pembelajaran merupakan suatu proses menghubungkan sumber sumber informasi terutama node node khusus. Selain itu, pembelajaran dapat terjadi di luar diri manusia ( may reside in non-human appliances )
3.    Kapasitas untuk dapat mengetahui lebih penting dari pada apa yang saat ini diketahui.
4.    Mendorong dan memelihara hubungan hubungan diperlukan untuk memfasilitasi terjadinya pembelajaran berkelanjutan.
5.    Kemampuan untuk melihat hubungan hubungan antara bidang bidang, ide ide, dan konsep konsep merupakan keterampilan inti.
6.    Kemutakhiran ( akurat, pengetahuan up-to-date ) merupakan tujuan dari kegiatan pembelajaran connectivism
7.    Pengambilan keputusan merupakan proses pembelajaran.
8.    Memilih apa yang akan dipelajari sangat penting dalam menghadapi “banjir informasi”.
  1. Makna dari informasi yang masuk harus dilihat melalui “kacamata” suatu pergeseran realitas. Suatu jawaban yang benar saat ini dapat salah besok pagi karena adanya perubahan “iklim” informasi yang mempengaruhi keputusan tersebut.

b)   Implikasi Penggunaan Teori Connectivism

Model pembelajaran connectivism mempunyai implikasi terhadap semua aspek kehidupan. Selain pada proses pembelajaran, terdapat implikasi juga terhadap aspek-aspek lain sebagai berikut:
1.       Manajemen dan kepemimpinan. Menyadari bahwa pengetahuan yang lengkap tidak mungkin didapat dari pemikiran satu orang, maka diperlukan ancangan berbeda dalam menilai suatu situasi. Pembentukan berbagai tim yang berbeda pandangan merupakan struktur yang penting dan diperlukan dalam rangka agar dapat menggali ide ide secara lengkap. Inovasi merupakan tantangan tambahan. Suatu ide yang dianggap revolusioner hari ini suatu saat akan ada sebagai elemen yang biasa. Kemampuan suatu organisasi untuk mendorong, membina, dan mensistesiskan dampak dampak dari berbagai pandangan atas suatu informasi merupakan hal yang sangat penting dalam rangka survival di era ekonomi-pengetahuan.
  1. Organisasi penyediaan jasa media-masa, berita, informasi, ditantang untuk terbuka, real-time, dan melakukan blogging agar terjadi komunikasi dua arah.
  2. Keterkaitan yang bertambah erat antara manajemen pengetahuan individu dengan manajemen pengetahuan organisasi.
  3. Desain dari lingkungan pembelajaran.

c)    Hal-hal Yang Diperoleh dari Penggunaan Model Pembelajaran Connectivism

Dalam proses pembelajaran, hal-hal yang dapat kita peroleh atau yang dapat kita petik dari penggunaan model pembelajaran connectivism ini adalah sebagai berikut:
1.       Saluran (conduit, pipe) untuk terhubung dengan jejaring lebih penting dari apa yang terdapat dalam saluran dan jejaring itu. Hal ini disebabkan apa yang ada dalam jejaring akan selalu berubah dengan cepat, sedanglan saluran (bahasa, media, teknologi) bersifat lebih permanen. Kemampuan kita untuk belajar apa yang kita butuhkan di masa depan lebih penting dari yang kita ketahui hari ini.
  1. Tantangan nyata dari suatu teori pembelajaran adalah kemampuan untuk mengaktualisasi pengetahuan yang dikuasai pada titik penerapannya. Dan ketika suatu pengetahuan dibutuhkan namun ternyata belum dikuasai, maka kemampuan untuk “mencebur” ke dalam sumber pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan merupakan keterampilan yang bersifat vital.
  2. Karena pengetahuan berevolusi dan berkembang secara berkesinambungan, akses kepada apa yang diperlukan lebih penting dari apa yang dikuasai saat ini.
  3. Connectivism merupakan model pembelajaran yang menjawab “pergeseran tektonik” dalam masyarakat di mana pembelajaran bukan lagi suatu kegiatan intern individual. Cara manusia bekerja dan berfungsi dalam masyarakat berubah dengan dipakainya alat alat (tools) baru yang dibuka peluangnya oleh kemajuan ICT.
  4. Bidang pendidikan terlalu lambat dalam mengenali dan beradaptasi dengan dampak dari adanya alat alat pembelajaran yang baru, perubahan perubahan lingkungan pembelajaran, dan arti baru dari pembelajaran.
  5. Connectivism menawarkan keterampilan belajar bagi para pembelajar berupa kegiatan kegiatan yang diperlukannya untuk menikmati hidup di era digital.

B.     Teori Chaos

Kusmarni (2008) menyatakan bahwa chaos menunjukkan ketidakberaturan, kekacauan, keacakan atau kebetulan, yaitu: gerakan acak tanpa tujuan, kegunaan atau prinsip tertentu. Alam semesta yang bersifat dinamis ini kelihatannya bekerja melalui system yang linier, tetapi banyak juga yang tidak bekerja secara linier dan tidak dapat dipahami melalui system linier, seperti awan, pohon, garis pantai, ombak dan lain sebagainya, yang secara sekilas menampakkan acak dan tidak teratur. Sistem seperti inilah yang dinamakan dengan teori chaos, yaitu suatu teori yang berkaitan dengan proses alam yang nampaknya kacau, acak dan tidak linier (system yang tidak dapat diprediksi berdasarkan kondisi awal).
Teori chaos dalam bidang pendidikan memberikan wawasan mengenai sistem pendidikan yang terdiri dari dunia mekanis. Pendidikan di era manapun bagaimanapun didasarkan pada kebutuhan era tersebut. Dalam dunia pendidikan teori chaos ini akan memberikan tantangan kepada pebelajar untuk lebih memahami pola-pola pembelajaran yang timbul. Kondisi chaos membuat hilangnya kemampu-prakiraan (predictability), karena adanya urutan atau susunan yang rumit yang bertentangan dengan keteraturan. Tidak sama dengan paham konstruktivisme yang menyatakan bahwa para peserta didik memahami sesuatu dengan membuat pemaknaan. Sedangkan chaos menyatakan bahwa pemaknaan itu telah ada dan memiliki tantangan yang jelas bagi peserta didik untuk mengenali pola-pola yang tersembunyi (Surya, 2009).

C.      Hubungan Teori Chaos dengan Model Pembelajaran Connectivism

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak semuanya menunjukkan gerak linier atau melingkar, tetapi juga ada yang bersifat non-linier. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas permasalahan yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi yang terus berlangsung dengan “lompatan-lompatan” yang mengejutkan, sehingga membutuhkan kreativitas masyarakat untuk mencari alternatif-alternatif jawaban dalam memecahkan permasalahannya. Katherine Hayles mengemukakan bahwa ketimpangan dalam kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan bila dibandingkan dengan kemajuan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, telah menyebabkan banyak persoalan kemanusiaan yang tidak terselesaikan. Kemajuan ilmu dan teknologi telah menghasilkan dampak negatif seperti penghabisan sumber daya alam, kerusakan lingkungan, polusi dalam berbagai bentuk dan melebarnya lubang ozon. Serta permasalahan dalam aspek-aspek moral, pandangan hidup, agama, hubungan-hubungan social, bahasa dan komunikasi, seni dan budaya. Oleh karena itu kemajuan ilmu dan teknologi telah melahirkan suatu dikotomi dan dilema bagi umat manusia.
Sistem chaos merupakan salah satu “jembatan” untuk mengatasi kesenjangan ilmu pengetahuan dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti etika, sastra, seni atau agama dalam memperjelas kehidupan manusia. Sehingga ilmu pengetahuan dapat berkembang secara “selaras” dan “memanusiakan manusia” menuju umat manusia yang lebih maju sekaligus beradab. Melalui sebuah kondisi chaos terjadi inovasi dan penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dengan menyelaraskan, menyeimbangkan dan menyilangkan antara ilmu pengetahuan dengan etika, sastra, seni atau agama.
     Berkaitan dengan hal tersebut teori chaos memberikan pengaruh yang besar dalam penerapan model pembelajaran connectivism. Dengan adanya keterkaitan antara teori chaos dengan model pembelajaran connectivism, akan memberikan dampak dimasa yang akan datang nantinya. Model pembelajaran connectivism mengarahkan siswa untuk dapat berpikir kritis dan kreatif dalam melaksanakan proses pembelajaran didalam kelas, sedangkan dengan teori chaos yang dikaitkan dengan model pembelajaran connectivism menuntun siswa untuk menuntun siswa untuk mengerahkan pemikiran kritis yang masih bersifat acak dan tidak beraturan menjadi sebuah pola-pola berpikir yang lebih tersusun rapi dan sistematis. 

D.      Model Pembelajaran Connnectivism untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa

Keterampilan belajar ini sangat menentukan bagi siswa untuk memperoleh hasil belajar yang maksimal. Setiap siswa dalam belajar selalu memiliki keterampilannya dalam belajar, melalui keterampilan tersebut akan terlihat siswa mana saja yang dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Namun tidak bisa dipungkiri, didalam setiap kelas terdapat beberapa orang siswa yang mampu memperoleh hasil yang memuaskaan dalam proses pembelajaran karena memiliki keterampilan belajar yang bagus didalam dirinya, dan ada juga siswa yang mengalami permasalahan pada hasil belajarnya meskipun selalu mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Hal tersebut diakibatkan bukan karena siswa malas belajar tetapi diakibatkan oleh keterampilan belajar siswa tersebut yang kurang maksimal, sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan keterampilan belajarnya.
Model pembelajaran connectivism merupakan model pembelajaran yang menekan pada pengambilan keputusan secara cepat oleh siswa, kegiatan tersebut dibutuhkan untuk melatih siswa dalam proses belajar mandiri di dalam maupun diluar kelas. Kegiatan yang dimaksudkan adalah “Kegiatan   dimula dar kegiatan   mengetahui sampai  dengan  kegiatan  menciptakan pengetahuan yang dapat ditindakkan”. Hal tersebut dimaksudkan bahwa dengan pengunaan model connectivism ini siswa diharapkan mampu mengikuti proses pembelajaran dikelas dari kegiatan mengetahui materi pelajaran apa yang akan mereka pelajari hinggga sampai menciptakan pengetahuan baru dari hasil belajarnya.
Model pembelajaran connectivism mengarahkan siswa untuk mampu mengumpulkan informasi-informasi yang dibutuhkannya dalam belajar secara cepat dan tepat, dimana pada era digital saat ini infromasi telah banyak dapat diperoleh melalui internet ataupun e-book. Hal ini tentunya akan sangat membantu bagi siswa dalam meningkatkan keterampilan belajarnya untuk meningkatkan hasil belajarnya. Terlebih lagi pada saat ini telah diputuskan bahwa siswalah yang lebih aktif dalam proses pembelajaran dikelas maupun diluar kelas (student centered), sehingga siswa akan lebih diarahkan untuk belajar secara mandiri dengan memanfaatkan teknologi dan sumber belajar yang ada disekitarnya dengan dipandu oleh guru sebagai fasilitatornya dalam blajar.
Penggunaan model pembelaran connectivism sangat dibutuhkan untuk menngembangkan daya berpikir kritis siswa dalam belajar. Siswa akan terlatih dalam mengambil keputusan secara cepat dalam menghadapi permasalahan yang ditemukannya dan terbiasa mengumpulkan informasi-informasi yang penting mengenai materi pembelajaran maupun hal lainnya yang mendukung dirinya sendiri untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas lagi. Model pembelajaran connectivism ini dapat diimplementasikan sebaik mungkin oleh guru dalam membantu dan menunjang proses pembelajaran dikelas agar lebih efektif dan lebih bisa menekankan proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).

E.  Konsep Diri
1.     Pengertian Konsep Diri
          Menurut  Para Ahli adalah sebagai berikut :
a.    Menurut Burns (dalam Pudjijogyanti, 1993)
Konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri.
b.    Menurut Rini (dalam Pudjijogyanti 2004)
           Konsep diri diartikan keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya.
c.     Menurut Cawagas (dalam Pudjijogyanti, 1993)
              Konsep diri mencangkup seluruh pandangan individu akan dimensi fisik, karakteristik pribadi, motivasi, kelemahan, kepandaian, kegagalan dan lain sebagainya.
d.   Menurut William D Brooks (dalam Rahmat, 2003)
             Konsep diri sebagai “ those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”. Jadi, konsep diri adalah pandangan perasaan tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisik.
e.     Menurut Pietrosefa (2002)
        Pietrosefa memberikan gambaran mengenai konsep diri yang diadaptasikan oleh Mappiarre yaitu ;
1.      Dimensi Pertama Citra Diri, yaitu diri dilihat oleh diri sendiri.
2.      Dimensi Kedua Ctra Diri, yaitu dilihat oleh orang lain, persepsi orang lain terhadap dirinya.
3.      Dimensi Ketiga Citra Diri, yaitu diri mengacu pada tipe-tipe orang yang saya kehendaki tentang diri saya (ideal self).
Sedangkan Konsep diri yang bersifat psikologis berdasarkan pikiran, perasaan dan emosional. Hal ini berhubungan dengaan kualitas dan abilitas yang memainkan peranan penting dalam penyesuaian dalam kehidupan, seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kepercayaan diri, aspirasi dan kemampuan diri dari tipe-tipe yang berbeda, yaitu:
1.    Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya, meliputi karakteristik fisik, sosial, psikologis, emosional, aspirsi daan prestasi ( Hurlock).
2.    Konsep diri adalah pandangan dan perasaan individu tentang dirinya sendiri yang dapat bersifat psikiologis, sosial dan fisik (Brooks).
3.    Konsep diri adalah pengetahuan dan evaluasi terhadap diri sendiri yang diperoleh melalui pengalaman dari interaksi dengan orang lain (burns).
         Konsep diri mulai terbentuk dan berkembang begitu manusia lahir. Soeitoe menyatakan konsep diri seseorang terbentuk dari pengalaman sendiri dari uraian yang diberikan oleh orang lain tentang dirinya. Pengalaman sendiri dan informasi dari lingkungan terintegrasi kedalam konsep diri.
         Konsep diri merupakan faktor bawaan tapi dibentuk dan berkembang melalui proses belajar yaitu dari pengalaman-pengalaman individu dalam interaksinya dengan orang lain. Individu dengan konsep diri yang tinggi lebih banyak memiliki pengalaman yang menyenangkan dari pada individu dengan konsep diri yang rendah.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah kesadaran akan pandangan , pendapat, penilaian, dan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri yang meliputi fisik, diri pribadi, diri keluarga, diri sosial juga etika.

F.       Komponen Konsep Diri
Komponen-komponen konsep diri menurut Hurlock (1976) antara lain:
a.    The Perceptual Component
Gambaran dan kesan seseorang tentang penampilan tubuhnya dan kesan yang dibuat pada orang lain atau sering disebut konsep diri fisik. Tercangkup didalamnya gambaran yang dipunyai seseorang tentang daya tarik tubuhnya (attractiveness) dan keserasian jenis kelamin (sex apporiateness). Komponen ini sering disebut physical self concept.
b.    The Conseptual Component
Pandangan  tentang karakteristik yang berbeda dengan orang lain baik tentang dengan kemampuan dan kekurangnya serta disusun dari kualitas penyesuaian  hidupnya tentang kepercayaan diri tergantung keberanian, kegagalan dan kelemahan. Komponen ini sering disebut psychological self concept.
c.    The Attitudinal Component
Perasaan tentang kebangaan dan rasa malunya. Yang termasuk dalam komponen ini adalah keyakinan nilai, aspirasi dan komitmen yang membentuk dirinya.
Sedangkan menurut Pudjijogyanti (1988), Komponen-komponen konsep diri ada dua yaitu :
1.    Komponen Kognitif
Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya. Misalnya “ saya anak bodoh “ atau “ siapa saya “. Jadi komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa saya” yang akan member gambaran tentang diri saya. Gambaran diri ( self-picture ) tersebut akaan membentuk citra diri ( self-image ).
2.     Komponen Afektif    
Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap diri. penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri ( self acceptance ), serta harga diri ( self-esteem) individu.

G. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri 
            Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan konsep diri, antara lain:
1.      Usia
              Konsep diri terbentuk seiring dengan bertambahnya usia, dimana perbedaan ini lebih banyak berhubungan dengan tugas-tugas perkembangan. Pada masa kanak-kanak, konsep diri seseorang menyangkut hal-hal disekitar diri dan keluarganya. Pada masa remaja, konsep diri sangat dipengaruhi oleh teman sebaya dan orang yang dipujanya. Sedangkan remaja yang kematangannya terlambat, yang diperlakukan seperti anak-anak, merasa tidak dipahami sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri. Sedangkan masa dewasa konsep dirinya sangat dipengaruhi oleh status sosial dan pekerjaan, dan pada usia tua konsep dirinya lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan fisik, perubahan mental maupun social.
2.      Inteligens
Inteligensi mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya, orang lain dan dirinya sendiri. Semakin tinggi taraf intreligensinya semakain baik penyesuaian dirinya dan lebih mampu bereaksi terhadap rangsangan lingkungan atau orang lain dengan cara yang dapat diterima. Hal ini jelas akan meningkatkan konsep dirinya, demikian pula sebaliknya (Syaiful, 2008).
3.   Pendidikan
Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan prestisenya. Jika prestisenya meningkat maka konsep dirinya akan berubah (Syaiful, 2008).
4.      Status Sosial Ekonomi
Status sosial seseorang mempengaruhi bagaimana penerimaan orang lain terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri seseorang. Penerimaan lingkungan terhadap seseorang cenderung didasarkan pada status sosial ekonominya. Maka dapat dikatakan individu yang status sosialnya tinggi akan mempunyai konsep diri yang lebih positif dibandingkan individu yang status sosialnya rendah.
Hal ini didukung oleh penelitian Rosenberg terhadap anak-anak dari ekonomi sosial tinggi menunjukkan bahwa mereka memiliki konsep diri yang tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari status ekonomi rendah. Hasilnya adalah 51 % anak dari ekonomi tinggi mempunyai konsep diri yang tinggi. Dan hanya 38 % anak dari tingkat ekonomi rendah memiliki tingkat konsep diri yang tinggi (dalam Skripsi Darmayekti, 2006:21).
5.        HubunganKeluarga
Seseorang yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, maka akan tergolong untuk mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya.

6.        Orang Lain
Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Bagaimana anda mengenal diri saya, akan membentuk konsep diri saya. Sullivan (dalam Rakhmat, 2005:101) menjelaskan bahwa individu diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan dirinya, individu akan cenderung bersikap menghormati dan menerima dirinya. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan dirinya, menyalahkan dan menolaknya, ia akan cenderung tidak akan menyenangi dirinya. Miyamoto dan Dornbusch (dalam Rakhmat, 2005:101) mencoba mengkorelasikan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri dengan skala lima angka dari yang palin jelek sampai yang paling baik. Yang dinilai adalah kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik fisik, dan kesukaan orang lain terhadap dirinya. Dengan skala yang sama mereka juga menilai orang lain. Ternyata, orang-orang yang dinilai baik oleh orang lain, cenderung memberikan skor yang tinggi juga dalam menilai dirinya. Artinya, harga diri sesuai dengan penilaian orang lain terhadap dirinya.
7.         Kelompok Rujukan (Reference Group)
Yaitu kelompok yang secara emosional mengikat individu, dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep dirinya. Menurut Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 2005:105), ciri orang yang memiliki konsep diri negatif ialah peka terhadap kritik, responsif sekali terhadap pujian, mempunyai sikap hiperkritis, cenderung merasa tidak disenagi orang lain, merasa tidak diperhatikan, dan bersikap pesimis terhadap kompetisi.
Sebaliknya, orang yang memilikii konsep diri positif ditandai dengan lima hal:
1.      Kemampuan mengatasi masalah.
2.      Merasa setara dengan orang lain.
3.      Menerima pujian tanpa rasa malu.
4.      Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.
5.      Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.  

H.  Manfaat Konsep Diri
1.      Rasa Percaya Diri
Bila anda mengetahui potensi diri anda, maka anda akan lebih percaya diri, dan inilah kunci utama keberhasilan seseorang.
2.      Semangat dan Gairah Hidup
Kalau anda mengetahui potensi diri anda, anda akan hidup lebih bersemangat dan penuh gairah.
3.       Keberanian
Ketika rasa percaya diri itu tumbuh, anda akan berani merealisasikan apa yang telah menjadi tujuan dan sasaran hidup anda. Anda akan berani mengambil resiko.
4.      Kebebasan
Ketika anda telah menemukan potensi diri serta merasa percaya diri, anda akan merasa hidup lebih bebas, bebas dari ketakutan dan keraguan.
5.       Harga Diri ( Self-Esteem )
Bila anda menerima keberadaan diri anda, menerima kelebihan maupun kekurangan diri anda, anda akan mencintai diri anda. Rasa cinta pada diri sendiri inilah yang menjadi landasan untuk menjadi diri sendiri. Dan ketika anda mampu menjadi diri sendiri, maka self-esteem anda akan meningkat.
6.      Kedamaian dan Kebahagiaan
Dengan menemukan siapa diri anda – menemukan citra-citra yang memadai, realistik dan positif – pintu kebebasan terbuka untuk anda, dimana anda akan bisa merasakan kedamaian dan kebahagiaan. Anda bisa bahagia dengan keberadaan diri anda sendiri.
7.      Keberhasilan dalan hidup
Kunci keberhasilan dalam hidup adalah percaya pada diri sendiri, untuk mempercayai diri sendiri, kita perlu menggali dari dalam diri untuk menemukan potensi diri yang tersembunyi.

Dengan membangun citra diri yang memadai, realistik dan positif, sesungguhnya anda membangun jalan keberhasilan diri anda sendiri.

I.     Hambatan Dalam Membangun Konsep Diri
            Potensi yang dimiliki seseorang bisa berkembang atau tidak, itu tergantung pada pribadi yang bersangkutan dan lingkungan dia berada. Beberapa hambatan yang sering terjadi dalam pengembangan potensi diri adalah sebagai berikut:
1.      Hambatan yang berasal dari lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor penghambat dalam pengembangan potensi diri. Hambatan ini antara lain disebabkan sistem pendidikan yang dianut, lingkungan kerja yang tidak mendukung semangat pengembangan potensi diri, dan tanggapan atau kebiasaan dalam lingkungan kebudayaan.
2.     Hambatan yang berasal dari individu sendiri
Penghambat yang cukup besar adalah pada diri sendiri,misalnya sikap berprasangka, tidak memiliki tujuan yang jelas, keengganan mengenal diri sendiri, ketidak mampuan mengatur diri, pribadi yang kerdil, kemampuan yang tidak memadai untuk memecahkan masalah, kreativitas rendah, wibawa rendah, kemampuan pemahaman manajerial lemah, kemampuan latih rendah dan kemampuan membina tim yang rendah.

J.        Konsep Diri Positif dan Negative
Konsep diri merupakan faktor penting didalam berinteraksi. Hal ini disebabkan oleh setiap individu dalam bertingkah laku sedapat mungkin disesuaikan dengan konsep diri. Kemampuan manusia bila dibandingkan dengan mahluk lain adalah lebih mampu menyadari siapa dirinya, mengobservasi diri dalam setiap tindakan serta mampu mengevaluasi setiap tindakan sehingga mengerti dan memahami tingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan.
Dengan demikian manusia memiliki kecenderungan untuk menetapkan nilai-nilai pada saat mempersepsi sesuatu. Setiap individu dapat saja menyadari keadaannya atau identitas yang dimilikinya akan tetapi yang lebih penting adalah menyadari seberapa baik atau buruk keadaan yang dimiliki serta bagaimana harus bersikap terhadap keadaan tersebut. Tingkah laku individu sangat bergantung pada kualitas konsep dirinya yaitu konsep diri positif atau konsep diri negatif. Menurut Brooks dan Emmart (1976), orang yang memiliki konsep diri positif menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
1.   Konsef diri positif
a.    Merasa mampu mengatasi masalah. Pemahaman diri terhadap kemampuan subyektif untuk mengatasi persoalan-persoalan obyektif yang dihadapi.
b.    Merasa setara dengan orang lain. Pemahaman bahwa manusia dilahirkan tidak dengan membawa pengetahuan dan kekayaan. Pengetahuan dan kekayaan didapatkan dari proses belajar dan bekerja sepanjang hidup. Pemahaman tersebut menyebabkan individu tidak merasa lebih atau kurang terhadap orang lain.
c.     Menerima pujian tanpa rasa malu. Pemahaman terhadap pujian, atau penghargaan layak diberikan terhadap individu berdasarkan dari hasil apa yang telah dikerjakan sebelumnya.
d.   Merasa mampu memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi diri untuk memperbaiki perilaku yang dianggap kurang.
2.      Konsep diri negatif
a.         Peka terhadap kritik. Kurangnya kemampuan untuk menerima kritik dari orang lain sebagai proses refleksi diri.
b.         Bersikap responsif terhadap pujian. Bersikap yang berlebihan terhadap tindakan yang telah dilakukan, sehingga merasa segala tindakannya perlu mendapat penghargaan.
c.          Cenderung merasa tidak disukai orang lain. Perasaan subyektif bahwa setiap orang lain disekitarnya memandang dirinya dengan negatif.
d.        Mempunyai sikap hiperkritik. Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan terhadap orang lain.
e.         Mengalami hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Merasa kurang mampu dalam berinteraksi dengan orang-orang lain.

K.      Langkah-Langkah Mempertahankan Konsep Diri
Langkah-langkah mempertahankan konsep diri yaitu sebagai berikut :
1.    Bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri
Jangan abaikan pengalaman positif atau pun keberhasilan sekecil apapun yang pernah dicapai. Lihatlah talenta, bakat dan potensi diri dan carilah cara dan kesempatan untuk mengembangkannya. Janganlah terlalu berharap bahwa Anda dapat membahagiakan semua orang atau melakukan segalasesuatu sekaligus.

2.      Jangan memusuhi diri sendiri
Peperangan terbesar dan paling melelahkan adalah peperangan yang terjadi dalam diri sendiri. Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan merupakan pertanda bahwa ada permusuhan dan peperangan antara harapan ideal dengan kenyataan diri sejati (real self). Akibatnya, akan timbul kelelahan mental dan rasa frustrasi yang dalam serta makin lemah dan negatif konsep dirinya.
3.      Berpikir positif dan rasional
“We are what we think. All that we are arises with our thoughts. With our thoughts, we make the world” (The Buddha). Jadi, semua itu banyak tergantung pada cara kita memandang segala sesuatbaik itu persoalan maupun terhadap seseorang. Jadi, kendalikan pikiran kita jika pikiran itu mulai menyesatkan jiwa dan raga.
            Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa langkah membangun konsep diri adalah :
1.      Belajar menyukai diri sendiri atau cinta diri sendiri
2.      Kembangkan pikiran positive thinking
3.      Hubungan interpersonal harus dibina dengan baik
4.      Pro-aktif atau sikap yang aktif menuju yang positive
5.      Menjaga keseimbangan hidup





















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Teori chaos menunjukkan ketidakberaturan, kekacauan, keacakan atau kebetulan, yaitu: gerakan acak tanpa tujuan, kegunaan atau prinsip tertentu. Dalam dunia pendidikan teori chaos ini akan memberikan tantangan kepada pebelajar untuk lebih memahami pola-pola pembelajaran yang timbul. Kondisi chaos membuat hilangnya kemampu-prakiraan (predictability), karena adanya urutan atau susunan yang rumit yang bertentangan dengan keteraturan.
Connectivism diperkenalkan pertama kali oleh George Siemens. Connectivism merupakan teori pembelajaran yang mengintegrasikan prinsip-prinsip yang digali melalui teori chaos, jejaring, kompleksitas (complexity), dan self-organizing.
Model pembelajaran connectivism merupakan model pembelajaran yang menekan pada pengambilan keputusan secara cepat oleh siswa, kegiatan tersebut dibutuhkan untuk melatih siswa dalam proses belajar mandiri di dalam maupun diluar kelas. Model pembelajaran connectivism mengarahkan siswa untuk mampu mengumpulkan informasi-informasi yang dibutuhkannya dalam belajar secara cepat dan tepat, dimana pada era digital saat ini infromasi telah banyak dapat diperoleh melalui internet ataupun sumber lainnya.

B.     Saran

Setelah membaca dan mempelajari tentang makalah ini, penulis berharap pembaca mendapatkan tambahan ilmu tentang bagaimana model pembelajaran connectivism. Makalah ini dibuat dari berbagai sumber yang dirangkum menjadi sebuah materi tertulis, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat adanya kekurangan dalam penyajian materi sehingga penulis berharap para pembaca dapat memberikan masukan yang membangun dalam penyempurnaan makalah ini. Penulis juga berharap agar para pembaca dapat memperoleh infomasi ilmu terkait materi pada makalah ini melalui sumber-sumber lain yang banyak beredar baik berupa buku maupun jurnal.







DAFTAR PUSTAKA


Kusmarni, Y. (2008). Teori Chaos: Sebuah Keteraturan Dalam Keacakan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Muta'in. (2016). Model pembelajaran connectivism untuk meningkatkan pemecahan masalah keterampilan belajar siswa di MTs. Nurul Jadid Kota Mojokerto. Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam, 123-132.

N.Katherine Hayles. Chaos and Order: Complex Dynamics in Culture and Science (London:The University of Chicago Press,Ltd.,1991), hlm. 171.

Surya, A. A. (2015, september 29). Connectivism indonesia. Retrieved Mei 25, 2017, from Gagasan Tentang Konektivisme Dan Penerapannya Di Sekolah:https://connectivismindonesia.wordpress.com/2008/09/29/gagasan-tentang-konektivisme-dan-penerapannya-di-sekolah.

Post a Comment

0 Comments